Sabtu 26 Januari 2019, 15:06 WIB
'The Power of Emak-emak' Pelindung Toleransi Kampung Tengah Jakarta

Kerukunan itu ada di Kampung Tengah, Kelurahan Kramat Jati, Jakarta Timur. Masuk ke Gang Eka Dharma, ada Musala Al Mukhlasiin dan Gereja Kristen Pasundan Kampung Tengah. Letak kedua tempat ibadah itu berdekatan.
Umat Islam tentu beribadah di musala, dan Umat Protestan di gereja. Namun di luar ritual, warga muslim sering masuk ke gereja, yang kristiani juga tak jarang beraktivitas di atas lantai musala. Di tempat ini, warga muslim dan kristiani berinteraksi secara luwes.
Saat berbincang dengan detikcom di kediamanya, di RT 001/RW008, Pendeta Magyolin memberikan kesaksian betapa warga di Kampung Tengah punya toleransi yang tinggi terhadap umat yang berbeda agama. Padahal sebelumnya, dia sempat khawatir bertugas di gereja yang terletak di tengah permukiman warga. Kekhawatiran itu sirna.
Dia ingat betul saat pertama menapaki Gang Eka Dharma tahun 2012, ada seorang ibu memandunya berkenalan dengan kampung ini. "Belakangan saya tahu beliau ustazah," katanya.
![]() |
Ibu itu juga menyampaikan ke Magyolin bahwa dia dan rombongannya akan latihan paduan suara di aula gereja. Saat itu ibu-ibu Kampung Tengah beserta jemaat gereja sedang bersiap mengikuti lomba tingkat Jakarta Timur. Aktivitas warga lintas agama di gereja adalah hal lumrah di sini, mulai dari latihan paduan suara hingga pemeriksaan kesehatan, dari penyuluhan kesehatan remaja hingga penyuluhan untuk ibu-ibu muda tentang gizi anak.
"Yang menarik, sempat ada wacana tentang penggunaan aula gereja untuk resepsi pernikahan (muslim). Jadi setelah ada ijab kabul di masjid besar kemudian naik saja deh resepsinya di aula gereja. Wah baru muncul niat saja kami udah seneng!" kata Magyolin, bersemangat menyambut ide itu.
Kehangatan lintas agama juga terwujud saat perayaan ulang tahun salah satu anak warga Kampung Tengah. Semula dia anggap hanya putra kecilnya saja yang perlu ikut perayaan ulang tahun anak-anak. Di rumah si anak yang ulang tahun, sudah ada Pak Ustaz dan Ibu Ketua RT yang menununggu Magyolin. Ternyata, kehadirannya selaku Pendeta Gereja Kristen Pasundan juga ditunggu.
Gara-gara eratnya hubungan kemasyarakatan di sini, Magyolin rela mengubah tradisi keluarganya. Sebelum bertugas di gereja ini, dia selalu mudik ke Purwakarta tiap kali lebaran hari pertama tiba. Namun sejak dia bertugas di GKP Kampung Tengah, dia baru pulang ke keluarga muslimnya di Purwakarta pada hari lebaran ke-2. "Karena tradisi lebaran hari pertama di sini, warga keliling dari rumah ke rumah," kata Magyolin.
Ada sosok yang selalu disebut-sebut Magyolin saat berbicara soal toleransi dan kerukunan di Kampung Tengah ini. Sosok itu adalah emak-emak yang tinggal tak jauh dari kediamannya, yakni Ibu Ketua RT 001 RW 008, namanya adalah Neng Herti (49).
"Bu RT! Aku udah pulang," kata bocah berseragam sekolah yang melintasi sebuah rumah. Di dalam rumah itu ada seorang ibu berkerudung. Tak salah lagi, ibu berkerudung itu adalah Neng Herti yang disebut-sebut punya peran besar menjaga kerukunan di Kampung Tengah.
![]() |
"Saya sudah 16 tahun jadi Ketua RT di sini. Waktu pemilihan jadi calon tunggal terus, nggak ada yang mau menggantikan," ujar Neng.
Saya mulai berbincang dengan Neng di rumahnya. Saat bertutur mengenai suasana toleran di Kampung Tengah, Neng menyatakan itu bukan karena jasa dirinya.
"Kebersamaan, toleransi, sudah terjalin sejak dulu. Memang orang tua kita lah yg mencetuskannya. Kami hanya meneruskan sebagai warisan," kata Neng yang menjadi warga Kampung Tengah sejak 1989, setelah menikah dengan suami asli kampung ini.
Periode kepemimpinan yang lama membuat emak tiga anak ini makin terampil menjaga kerukunan antarumat beragama di RT ini, RT yang punya gereja dan musala berdekatan. Perbandingan jumlah pemeluk Islam dan Kristen dikatakannya imbang. Gereja Kristen Pasundan di sini sudah dibangun di akhir tahun '60-an dan musala dibangun sekitar dekade '90-an. Beda agama tak jadi soal bagi hubungan kemasyarakatan warga kampung.
Mereka sering mengadakan acara bersama-sama, mulai dari perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus seperti kampung lainnya, hingga merayakan bersama hari lebaran serta natal dan tahun baru. Bila lebaran, warga kristiani mengunjungi warga muslim. Namun bila natal, warga muslim mengunjungi warga kristiani. Bila tahun baru tiba, warga saling mengunjungi hingga dini hari.
"Kami pun jam 2 sampai jam 3 pagi masih di luar itu tahun baruan, keliling ke rumah Ibu Pendeta juga, ke sebelahnya, ke rumah-rumah yang non muslim, sama-sama," katanya.
![]() |
Emak-emak serta anaknya sering bepergian bersama ke tempat-tempat yang mudah dijangkau di Jakarta ini untuk merayakan ulang tahun anak warga. Rantang berisi aneka masakan dibawa menuju tempat piknik. Kegiatan bersama seperti itu turut memelihara kerukunan antarumat beragama.
"Makanya kami berharap jangan sampai ada orang luar yang memprovokasi kerukunan kita. Jangan sampai hal itu terjadi. Di sini sudah cukup tenang," kata Neng.
Simak terus berita-berita di detikcom tentang toleransi antarumat beragama di seputar Jakarta.
(dnu/fjp)
Senin 21 Januari 2019, 17:49 WIB
Cerita di Balik Suster Katolik dan Grup Kasidah Nyanyi 'Jilbab Putih'

"Jilbab, jilbab putih, lambang kesucian...," begitulah para suster dan penyanyi kasidah bernyanyi, sebagaimana yang tampak dalam video unggahan Komisi KOMSOS KWI pada 16 Januari 2019, di YouTube. Di Twitter, unggahan video ini sudah di-retweet lebih dari 15 ribu kali dan disukai 13 ribu akun.
Tampak di video itu, ibu-ibu berjilbab biru tua bernyanyi lagu kasidah Nida Ria yang terkenal mulai tahun 1990 itu. Banyak dari mereka memainkan rebana. Satu suster ikut bernyanyi, dan sebagian berjoget dengan semangat. Video itu dilihat 9.665 kali, disukai 494 orang dan tidak disukai 5 orang saja.
Di bawah video tertulis keterangan, "Suster Yunita, CB, berkolaborasi dengan Grup Kasidah Miftahul Jannah, yang hadir meramaikan perayaan HUT Lustrum ke-9 Civita Youth Camp, Ciputat, Selasa (15/1/2019). Selain menghibur, nyanyian para wanita berkerudung ini memecah dinding perbedaan di tengah maraknya intoleransi karena beda pendapat."
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Ignatius Suharyo menceritakan kegiatan itu terjadi di Rumah Pembinaan Civita, Jl Cimandiri Nomor 50, Cipayung, Ciputat, Tangerang Selatan. Kegiatan itu dinilainya telah mencerminkan nama Civita yang merupakan gabungan dua kata, 'ci' dalam bahasa Sunda bermakna 'air' atau 'sungai' dan 'vita' dari bahasa Latin berarti 'hidup'. Beginilah seharusnya air kehidupan yang sejati diperoleh, yakni dengan cara kebersamaan.
"Waktu itu saya hadir di sana dalam rangka Lustrum ke-9 Civita," kata Romo Ignatius saat dihubungi, Senin (21/1/2019).
Para suster itu adalah pembina di Civita, sedangkan grup kasidah Miftahul Jannah dikatakannya merupakan kelompok musik dari ibu-ibu sekitar Kantor Civita. Lagu yang mereka bawakan bersama para suster adalah 'Jilbab Putih'.
"Suster itu (berjilbab putih) adalah salah satu pendamping pembinaan di situ. Sedangkan ibu-ibu yang berjilbab adalah tetangga yang tinggal di dekat rumah pembinaan. Mereka bersahabat sejak lama," kata Ignatius.
Ternyata ibu-ibu muslim dan para suster Katolik itu bersahabat. Penampilan seperti itu menjadi wujud persahabatan mereka. Kegiatan ini sesuai semboyan Republik Indonesia.
"Nyanyian itu mau mengungkapkan rasa persahabatan, saling hormat tanpa membeda-bedakan. Sebentuk usaha untuk mengatakan kepada semua bahwa bangsa Indonesia adalah berciri Bhinneka Tunggal Ika dan undangan untuk membangun persaudaraan dan persahabatan yang tulus di antara sesama warga bangsa," kata Ignatius.
Civita adalah tempat pembinaan karakter kaum muda Katolik. Civita berada di bawah tanggung jawab Keuskupan Agung Jakarta.
(dnu/imk)