Jumat 15 Maret 2019, 13:56 WIB
Pelaku Penembakan Masjid Selandia Baru Posting Manifesto Anti-Islam

FOKUS BERITA:
Penembakan Masjid Selandia Baru
Christchurch -
Seorang pelaku penembakan brutal di masjid di Christchurch, Selandia Baru
diidentifikasi sebagai warga negara Australia. Perdana Menteri (PM)
Australia Scott Morrison menyebut dia sebagai "teroris keji, ekstremis
sayap kanan".Pria yang melakukan aksi penembakan brutal di Masjid Al Noor tersebut telah memposting online sebuah manifesto setebal 87 halaman, yang isinya menyebutkan alasannya untuk melakukan penembakan itu. Manifesto tersebut berisi pandangan anti-imigran, anti-muslim dan penjelasan mengapa serangan itu dilakukan.
Pria yang di Twitter menyebut dirinya sebagai 'Brenton Tarrant' itu, bahkan menyiarkan secara langsung di Facebook, aksi penembakan yang dilakukannya dan mengarahkan kamera ke arah dirinya sebelum melepaskan tembakan. Facebook kemudian telah menghapus siaran langsung tersebut.
Seperti dilansir News.com.au, Jumat (15/3/2019), dalam manifesto yang ditulisnya, pria berumur 28 tahun itu menyebut dirinya sebagai "pria kulit putih biasa". Dia juga menuliskan bahwa dia dilahirkan dari sebuah keluarga kelas pekerja, berpenghasilan rendah ... yang memutuskan untuk mengambil sikap untuk memastikan masa depan bagi rakyat saya".
Dia menyebutkan bahwa dirinya melakukan penembakan itu untuk "secara langsung mengurangi tingkat imigrasi di tanah-tanah Eropa".
Seorang saksi mata yang diwawancara TVNZ mengatakan seorang pria memasuki Masjid Al Noor dengan menenteng pistol pada pukul 13.45 waktu setempat.
"Saya mendengar suara letusan senjata api. Lalu, ketika suara itu terdengar kembali, saya pun lari. Banyak jemaah sedang duduk di lantai masjid. Saya berlari ke bagian belakang masjid," kata dia.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan ini adalah kejadian 'luar biasa, tak pernah terjadi sebelumnya, dan salah satu hari terkelam' negara tersebut. Dia juga mengatakan 'seorang tersangka telah ditahan aparat', tapi mungkin ada lainnya yang terlibat.
TGB Sebut Serangan di New Zealand Bukti Teroris Tak Kenal Agama

FOKUS BERITA:
Teroris Masjid New Zealand
Mataram -
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW), TGH
Muhammad Zainul Majdi (TGB), mengutuk aksi terorisme di dua masjid di
Kota Christchurch Selandia Baru (New Zealand). Dia mengatakan
penyerangan tersebut jadi bukti terorisme tak kenal agama."Kita semua mengutuk keras peristiwa yang sangat biadab ini. Peristiwa yang sekali lagi membuktikan bahwa kebencian dan ekstremisme pasti akan menghancurkan. Terorisme tidak mengenal agama dan ras. Mari kokohkan terus persaudaraan di antara kita," ungkap TGB lewat ketarangan tertulis yang diterima detikcom, Senin (18/3/2019).
TGB mengatakan PBNW mengapresiasi langkah positif pemerintah Selandia Baru yang mengutuk dan memproses hukum pelaku pembantaian itu. PBNW juga mengapresiasi masyarakat dunia yang turut mengecam aksi brutal pelaku penyerangan.
PBNW juga mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menindaklanjuti aksi terorisme di Kota Christchurch dengan segala upaya seperti meminta masyarakat tidak menyebar video kekerasan tersebut dan meningkatkan pengamanan di beberapa daerah.
"PBNW mendukung sepenuhnya reaksi cepat Pemerintah Republik Indonesia di bawah pemerintahan Bapak Joko Widodo yang mengutuk serangan teroris itu dan berbagai tindakan lanjutan yang diperlukan," kata mantan Gubernur NTB dua periode ini.
![]() |
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBNW, TGH Hasanain Juaini, mengimbau umat Islam tetap tenang dan menghindari tindakan yang memperburuk keadaan. "Umat Islam tetap tenang menghadapi cobaan dan musibah ini dan menghindari tindakan-tindakan yang semakin memperuncing keadaan," imbau Hasanain.
Dia minta agar umat Islam terus dan tiada henti meningkatkan upaya mendakwahkan Islam sebagai ideologi rahmatan lil-alamin, bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan hidup bersama yang aman damai dan harmonis. Dia juga meminta umat Islam, khususnya pengurus NW untuk melaksanakan salat gaib, Qunut Nazilah serta berhizib, memanjatkan doa keselamatan untuk para korban.
"Kepada seluruh umat Islam, dan khususnya Pengurus Nahdlatul Wathan pada seluruh tingkatan beserta seluruh underbow-nya dan para jamaah untuk melaksanakan Shalat Ghaib, Qunut Nazilah serta berhizib, memanjatkan doa keselamatan untuk para korban, seluruh keluarganya beserta Umat Islam di mana saja berada," tuturnya.
Seperti diketahui insiden teror terjadi di Masjid Al Noor, di pusat Kota Christchurch, dan Masjid Linwood. Laporan menyebutkan korban meninggal mencapai 50 orang. Korban tewas ditembak saat menanti waktu salat Jumat (15/3) lalu.
Pelakunya seorang pria bersenjata bernama Brenton Tarrant (28) menyiarkan secara langsung aksi penembakan itu melalui Facebook.
(jbr/jbr)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ideologi Kebencian

Ada dua hal yang bisa kita pahami dari aksi penembakan ini. Pertama, bahwa aksi kekerasan bukanlah persoalan agama. Selama ini, narasi arus utama seringkali menempatkan Islam sebagai penyandang aksi terorisme. Terorisme seakan lahir dari agama. Referensi yang diacu: Peristiwa 11 September di Amerika, Bom Bali, aksi terorisme di Eropa, atau yang paling jelas aksi ISIS di Timur Tengah. Aksi di Christchurch setidaknya menguatkan fakta bahwa tidak semua tindakan terorisme dilakukan oleh muslim. Seorang Kristen berkebangsaan Australia terbukti telah menjadi teroris sadis yang merenggut puluhan nyawa manusia secara biadab.
Kadua, aksi kekerasan sebenarnya lahir dari kebencian. Beberapa fakta seputar pelaku penembakan, Brenton Tarrant menyebutkan bahwa pria 28 tahun ini merasa khawatir akan adanya imigran muslim. Imigran muslim dianggap mengancam eksistensi pribumi, khususnya kulit putih. Kebencian terhadap kelompok tertentu, pada derajat yang paling ekstrem adalah aksi yang sangat tidak manusiawi. Pada tataran yang lebih luas, kebencian ini akan menggumpal menjadi sebuah tata nilai, yang bisa kita sebut dengan ideologi kebencian.
Saat ini kita dihadapkan pada kontestasi politik yang mengarahkan pada polarisasi dua kutub, 01 dan 02, yang oleh para netizen diformulakan ke dalam terminologi "cebong" dan "kampret". Saya rasa kedua komunitas tersebut pun sudah dirasuki virus kebencian satu sama lain. Hal ini bisa kita lihat dari masing-masing kutub yang akan mencari pembenar terhadap komunitasnya, sebaliknya melakukan delegitimasi, menganggap salah pada lawannya. Durasi kampanye yang sangat lama ini kiranya berpotensi akan menggumpalkan rasa kebencian.
Rasa kebencian adalah racun yang akan mampu menggerogoti daya imun akan kebenaran. Ia semacam candu yang terus menghadirkan rasa "benar sendiri" sembari mengutuk dan mencaci lawan. Sederhananya, kebencian menyebabkan kita subjektif dan fanatik. Dalam agama kita diingatkan, "Janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menjadikan dirimu berlaku tidak adil." (Q.S 5: 8).
Kita harus bersikap adil, semenjak dari pikiran kita. Jangan biarkan kebencian menjadi ideologi yang akan menggerakkan kita berlaku tidak adil, bahkan sampai melakukan tindakan terlarang, seperti menebar fitnah, hoaks sampai pada kekerasan. Kontestasi politik ini sungguh telah menguji sikap adil kita. Beberapa banyak orang yang akhirnya "kalah" rasa adilnya, mendukung pasangan tertentu, dengan menghilangkan logika dan akal sehatnya. Berapa banyak orang yang pada akhirnya menggunakan cara-cara tidak proporsional, dengan menebar kebencian, hoaks, fitnah hanya demi kepentingan politiknya.
Peristiwa Christchurch cukup menjadi pelajaran bersama, bagaimana kebencian mampu mengikis rasa kemanusiaan kita. Dan kontestasi politik 2019 telah mengaduk-aduk kebencian dan keadilan kita, tinggal lihat mana yang akan memenangkan, keadilan atau kebencian kita. Kita berharap kontestasi demokrasi kali ini tidak lebih adalah pesta lima tahunan yang seharusnya kita sikapi dengan gembira dan suka cita. Jika pun kita hanyut dalam arus kontestasi politik ini, setidaknya itu tidak akan mengikis rasa keadilan dan nurani sehat kita. Dan ketika pesta ini selesai, maka kita akan kembali menjadi "manusia" seperti sedia kala.
Muhamad Mustaqim dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus