Kenapa perang yang katanya “suci” justru melahirkan kekacauan selama lebih dari dua abad?
Siapa sebenarnya yang memicu 8 Perang Salib—umat beriman atau para penguasa yang haus kuasa?
Dalam video berdurasi 51 menit ini, kita akan membedah sejarah Perang Salib secara lengkap:
dari perang pertama hingga perang kedelapan, dari kepentingan politik Paus dan Gereja Katolik, ambisi para Raja Eropa, hingga reaksi keras dari Kesultanan Islam yang tak tinggal diam.
Ini bukan sekadar sejarah peperangan. Ini tentang bagaimana agama dijadikan alat, bagaimana kekuasaan dibungkus dengan dalih suci, dan bagaimana dunia Islam merespons dengan cerdas, taktis, dan kadang penuh luka.
📌 Dalam video ini kamu akan menemukan:
Kronologi lengkap Perang Salib I–VIII
Peran politik Paus Urbanus II, Paus Innocentius III, dan elit Vatikan
Raja-raja Eropa seperti Richard the Lionheart & Frederick Barbarossa, dan ambisi kekaisaran mereka
Dinamika Kesultanan Seljuk, Ayyubiyah, dan Mamluk dalam menghadapi agresi Barat
Dampak politik jangka panjang terhadap Eropa, dunia Islam, dan tatanan dunia modern
📍Video ini cocok buat kamu yang ingin:
Memahami akar konflik Timur–Barat
Menelusuri peran Gereja Katolik dalam geopolitik abad pertengahan
Membedah strategi politik dunia Islam menghadapi tekanan Kristen Barat
Merenungkan bagaimana sejarah Perang Salib masih memengaruhi politik global hingga hari ini
📢 Jangan lupa subscribe dan aktifkan loncengnya kalau kamu ingin konten sejarah dan politik yang membuka mata, tidak hanya sekadar menghafal tanggal dan nama.
--------------------------------------------------------------------------------
00:00 Perang Salib
02:50 Kenapa Perang Salib Bisa Terjadi Hingga Delapan Kali? Sejarah Panjang yang Tak Sekedar Agama.
12:17 Kenapa Paus Mendorong Perang Salib? Ketika Misi Suci Dipakai Menyatukan Kekuasaan.
21:01 Raja-Raja Eropa dan Ambisi Kekuasaan: Ketika Mahkota Bergandeng Tangan dengan Salib.
29:34 Politik di Kesultanan Islam dan Reaksi Dunia Muslim: Dari Kekacauan Internal ke Perlawanan Terorganisir.
37:00 Dampak Politik Jangka Panjang: Warisan Beracun Perang Salib di Dunia Modern.
44:30 Kesimpulan: Perang Salib Sudah Usai, Tapi Luka dan Narasinya Masih Kita Warisi.
--------------------------------------------------------------------------------
Music Cradit to :
White Bat Audio
Link: / @whitebataudio https://www.whitebataudio.com#PerangSalib#SejarahIslam#PolitikGereja#PerangAgama#Yerusalem#Vatikan#CrusadeHistory#PausdanRaja#PerangTimurBarat#SejarahDunia#TauPolitik
4. PENTEKOSTA (KARISMATIK) : menekankan peran Roh Kudus, melalui bahasa roh. .
5. REFORMED / PREBISTERIAN: TULIP
:
**********
1. GEREJA KRISTEN JAWA
https://www.youtube.com/watch?v=__nfYRchg4I
Dalam Gereja Kristen managemen menerapkan ABC = Attendance (kehadiran), Build (Membangun) dan Chase Flow (Aliran Keuangan).
Prinsip ABC dalam konteks manajemen gereja, sering kali merujuk pada konsep yang menekankan pertumbuhan gereja melalui A (Attendance/Peribadatan), B (Building/Bangunan), dan C (Cash Flow/Aliran Keuangan). Ini dapat menjadi sebuah tolok ukur, namun juga dapat disalahgunakan jika fokus utama adalah pada ukuran-ukuran ini di atas pertumbuhan spiritual dan pelayanan.
Elaborasi:
A (Attendance/Peribadatan):
Menunjukkan jumlah orang yang hadir dalam ibadah atau kegiatan gereja. Pertumbuhan jumlah jemaat bisa menjadi indikasi positif, namun perlu diimbangi dengan kualitas pelayanan dan pertumbuhan rohani jemaat.
B (Building/Bangunan):
Memperlihatkan kondisi fisik gereja, termasuk pemeliharaan dan pembangunan. Peningkatan infrastruktur bisa menjadi bukti kemajuan gereja, tetapi tidak boleh menjadi tujuan utama di atas pelayanan dan kebutuhan jemaat.
C (Cash Flow/Aliran Keuangan):
Merupakan indikator keuangan gereja, termasuk pendapatan, pengeluaran, dan kesehatan finansial secara keseluruhan. Aliran keuangan yang sehat penting untuk keberlanjutan gereja, namun harus dipertanggungjawabkan dengan transparan dan digunakan untuk pelayanan yang lebih luas.
Peringatan:
Beberapa ulasan pada media sosial menunjukkan bahwa fokus yang berlebihan pada "ABC Church" dapat mengarah pada kurangnya fokus pada misi ilahi dan lebih menekankan pada pencapaian pribadi atau kesuksesan di duniawi.
Penting bagi gereja untuk memiliki pemahaman yang lebih luas tentang pertumbuhan dan pelayanan, tidak hanya berdasarkan angka-angka yang terlihat, tetapi juga pertumbuhan rohani dan pelayanan yang berdampak pada kehidupan jemaat.
Manajemen gereja yang efektif harus mampu mengelola keuangan, bangunan, dan peribadatan dengan baik, namun tetap berlandaskan pada nilai-nilai Alkitabiah dan pelayanan yang berpusat pada Tuhan. .
*****
Gereja Kristen Jawa (GKJ) mengikuti ajaran Calvinisme, bukan Lutheranisme. GKJ merupakan gereja Protestan yang berakar pada tradisi reformasi gereja yang dipimpin oleh John Calvin. Ajaran Calvinisme menekankan pada doktrin seperti keselamatan melalui iman, takdir, dan otoritas Alkitab.
Berikut penjelasan lebih rinci:
Calvinisme:
Gereja Kristen Jawa (GKJ) merupakan gereja Protestan yang mengadopsi pemikiran teologi John Calvin. Calvinisme menekankan pada keselamatan melalui iman, takdir, dan otoritas Alkitab.
Lutheranisme:
Lutheranisme adalah denominasi Protestan yang berasaskan pada ajaran Martin Luther. Luther dikenal dengan doktrin "sola fide" (iman saja) dan "sola scriptura" (Alkitab saja).
Gereja Kristen Jawa:
GKJ adalah gereja Protestan di Indonesia yang memiliki akar historis dan teologis dengan Calvinisme.
Perbedaan Keyakinan:
Sementara Lutheranisme dan Calvinisme sama-sama bagian dari tradisi Protestan, terdapat perbedaan dalam penekanan doktrin seperti takdir, perjamuan, dan peran rohani.
JPS, 24 Mei 2025.
******
https://www.youtube.com/watch?v=a3M1z3-vLpA
Gelar Theotokos bagi Bunda Maria ( Menanggapi Pdt. Esra A. Soru dan Pdt. Gilbert Lumoindong)
Gereja Saya Di GKI (Gereja Kristen Indonesia) Aliran Protestan Calvinist...
Di Gereja Saya, “Katolik-nya" masih Sangat Kental...
Bahkan Di Gereja Saya Ada: Minggu Epifany, Minggu Kristus Raja, Rabu Abu, Minggu Palmarum, Jum'at Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah, Minggu Pentakosta, Minggu Trinitas, Bulan Keluarga, Adven 1-5, Hari Raya Malam Natal, Hari Raya Natal, Dll...
GKI itu masih mirip Katolik...
Dan GKI itu ibadahnya tidak seperti Gereja Pentakosta (Kaum Jedug-Jedug)
GKI itu Ibadahnya Pakai Lagu KJ, NKB, dan PKJ (Hyme)...
GKI juga ada: Doa Bapa Kami (Di Setiap Ibadah), Pengakuan Iman Rasuli (Di Setiap Ibadah), Pengakuan Iman Nicea dan Konstantinopel (Sebulan Sekali), Pengakuan Athanius (3 Bulan Sekali), Dll...
2. GEREJA REFORM
https://www.youtube.com/watch?v=yPHX6ZcgI8M
Ima Gereja Reform: Iman sejati?
Seperti yang sisebutkan di bawah ini? Coba cek lagi dan dengar lagi sebagaimana yang diungkakan oleh Pendeta Stefan Tong.
Rom:10,15,13,20,
Iman itu..Yes 52:3,7.
Yes 62:10,8,11,12.
3. GEREJA MENNONITE
Gereja Menonit adalah suatu kelompok gerejaKristenProtestan yang tergolong di dalam kelompok Gereja-gereja Anabaptis, yaitu gereja-gereja yang menolak baptisan anak dan hanya mengakui baptisan orang dewasa yang sudah menyatakan imannya. Gereja ini bertumbuh dari masa Reformasi karena para pengikutnya merasa bahwa gerakan pembaruan yang dilakukan antara lain oleh Martin Luther dan Yohanes Calvin kurang radikal. Karena itu pula gerakan ini disebut juga kelompok Reformasi Radikal.
Sejarah
Gereja ini dimulai oleh seorang bekas imam Katolik yang bernama Menno Simons yang berasal dari Belanda. Menno Simons dilahirkan di kota Witmarsum di Friesland pada tahun 1496, dan meninggal pada tahun 1561. Simons dipersiapkan sejak masa mudanya untuk menjadi imam Katolik dan ditahbiskan pada tahun 1524. Ia mulai melayani sebuah jemaat di kota Pinjum. Tujuh tahun kemudian ia kembali dan melayani di kota kelahirannya, Wirmarsum. Sebagai seorang imam ia menjalankan tugas-tugas rutinnya seperti melayani misa, menerima pengakuan dosa, membaptiskan anak-anak yang baru lahir dan berdoa bagi umatnya. Namun Simons tidak pernah membaca Alkitab, meskipun ia menjalani pendidikan dan latihan untuk membaca dan menulis dalam bahasa Latin di biaranya. Simons dengan sengaja menghindari Alkitab karena rasa takut. Sebagai seorang Katolik, ia diajar bahwa hanya Paus sajalah yang dapat menafsirkan Alkitab tanpa kesalahan.
Pergumulan Pertama
Pada tahun pertama pelayanannya sebagai seorang imam, Simons mulai meragukan ajaran tentang infalibilitaspaus, pada saat ia memimpin misa. Ajaran Katolik tentang transubstansiasi menyatakan bahwa ketika roti dan anggur diberkati, kedua elemen itu sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Simons setuju dengan para Reformator lainnya bahwa elemen-elemen itu “mewakili” namun tidak sungguh-sungguh “berubah” menjadi tubuh dan darah Kristus.
Menurut tradisi, mula-mula Simons menganggap semua ini sebagai cobaan iblis. Karena itu Simons mengambil sakramenpengakuan dosa dengan harapan bahwa Allah akan menyingkirkan beban ini. Namun apa yang terjadi ialah beban itu malah semakin bertambah dan berkembang menjadi suatu pergumulan batin yang dicoba diselesaikannya dengan sungguh-sungguh membaca Perjanjian Baru. Namun semakin mendalam ia membaca dan mempelajari Alkitab, ia menjadi semakin yakin bahwa doktrin itu tidak mempunyai dasar alkitabiah. Pada saat itulah Simons merasa harus memilih antara otoritas Alkitab dan otoritas Gereja.
Pada saat itu Simons menemukan tulisan-tulisan Martin Luther dan berdasarkan hal itu, akhirnya ia mengakui bahwa Firman Allah lebih berwibawa dibandingkan dengan perintah-perintah dan praktik manusia. Luther dengan tegas mengajarkan bahwa hukum-hukum manusia tidak bisa mengutuk manusia untuk selama-lamanya. Manusia tidak memberikan anugerah ataupun menyingkirkannya. Oleh karena itu perlahan-lahan Simons menyingkirkan doktrin transubstansiasi, meskipun ia tetap melayankan sakramen tersebut pada misa.
Pengalaman Simons ini tidak membuatnya meninggalkan Gereja Katolik. Namun hal ini telah menimbulkan di dalam dirinya keraguan terhadap kewibawaan Gereja.
Pada tahun pertama pelayanannya sebagai seorang imam, Simons mulai meragukan ajaran tentang infalibilitaspaus, pada saat ia memimpin misa. Ajaran Katolik tentang transubstansiasi menyatakan bahwa ketika roti dan anggur diberkati, kedua elemen itu sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Simons setuju dengan para Reformator lainnya bahwa elemen-elemen itu “mewakili” namun tidak sungguh-sungguh “berubah” menjadi tubuh dan darah Kristus.
Menurut tradisi, mula-mula Simons menganggap semua ini sebagai cobaan iblis. Karena itu Simons mengambil sakramenpengakuan dosa dengan harapan bahwa Allah akan menyingkirkan beban ini. Namun apa yang terjadi ialah beban itu malah semakin bertambah dan berkembang menjadi suatu pergumulan batin yang dicoba diselesaikannya dengan sungguh-sungguh membaca Perjanjian Baru. Namun semakin mendalam ia membaca dan mempelajari Alkitab, ia menjadi semakin yakin bahwa doktrin itu tidak mempunyai dasar alkitabiah. Pada saat itulah Simons merasa harus memilih antara otoritas Alkitab dan otoritas Gereja.
Pada saat itu Simons menemukan tulisan-tulisan Martin Luther dan berdasarkan hal itu, akhirnya ia mengakui bahwa Firman Allah lebih berwibawa dibandingkan dengan perintah-perintah dan praktik manusia. Luther dengan tegas mengajarkan bahwa hukum-hukum manusia tidak bisa mengutuk manusia untuk selama-lamanya. Manusia tidak memberikan anugerah ataupun menyingkirkannya. Oleh karena itu perlahan-lahan Simons menyingkirkan doktrin transubstansiasi, meskipun ia tetap melayankan sakramen tersebut pada misa.
Pengalaman Simons ini tidak membuatnya meninggalkan Gereja Katolik. Namun hal ini telah menimbulkan di dalam dirinya keraguan terhadap kewibawaan Gereja.
Pergumulan Kedua
Pada tanggal 20 Maret 1531, Sicke Freerks dihukum mati di Leeuwarden karena pada tahun sebelumnya ia menerima baptisan ulang. Simons merasa sangat ketakutan dan dibebani dengan begitu banyak pertanyaan baru. Gagasan tentang baptisan ulang ini adalah sesuatu yang sama sekali baru baginya. Mengapa orang mau melakukan baptisan ulang? Apakah artinya? Apakah ajaran Gereja Katolik tentang baptisan juga keliru? Simons kembali berpaling kepada tulisan-tulisan Luther, tetapi Luther mendukung baptisan anak-anak dan mengatakan bahwa anak-anak mempunyai “iman yang tersembunyi” sama halnya dengan orang-orang dewasa yang percaya yang diselamatkan sementara mereka tidur.
Para reformator lainnya juga mendukung baptisan anak-anak, meskipun praktik itu sendiri tidak dengan jelas disebutkan di dalam Alkitab. Misalnya, Martin Butzer mengatakan bahwa baptisan anak adalah janji orang tua untuk mendidik anak itu sesuai dengan kehendak Allah di tengah keluarganya. Henry Bullinger membandingkan baptisan anak dengan sunat dalam Perjanjian Lama. Namun semua itu tidak cukup meyakinkan Simons. Ia tetap bertanya, bagaimana sesungguhnya ajaran Perjanjian Baru tentang baptisan anak-anak? Apakah yang sesungguhnya diajarkan oleh Yesus? Simons tidak menemukan sedikitpun ajaran tentang baptisan anak di dalam Perjanjian Baru. Pada masa ini, Simons tetap melayani dan berfungsi sebagai imam, melayankan perjamuan dan membaptiskan anak-anak, tetapi di dalam hatinya, ia tetap diliputi oleh keraguan, dan ia menyadarinya.
Kaum Münster
Orang-orang Anabaptis yang dipimpin oleh seorang tukang jahit Belanda, Johannes dari Leyden, menguasai kota Münster di Jerman dan memerintah kota itu sesuai dengan prinsip-prinsip rohani. Masalahnya, apa yang sering disebut orang sebagai hukum-hukum rohani tidak lain daripada usaha manusia dan karena itu terjadilah kerusuhan di kota Münster. Sebagian penduduk kota itu kembali ke Belanda dan membawa ekses-ekses kerusuhan itu bersama mereka. Simons melawan kaum Münster ini untuk memperlihatkan kesetiaannya sebagai seorang Katolik, meskipun ia sendiri menyadari bahwa sesungguhnya ia bukan lagi seorang yang sepenuhnya Katolik. Simons memahami bahwa kaum Münster itu bersedia mati untuk keyakinan mereka, sementara ia sendiri berjuang untuk ajaran yang tidak sepenuhnya ia yakini. Masalahnya menjadi semakin parah ketika saudara laki-laki Simons sendiri bergabung dengan kaum Münster dan belakangan mati dalam suatu pertempuran. Hal ini sangat memukul Simons. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang imam, meskipun ia tahu bahwa sebagian besar dari doktrin yang diajarkannya itu tidak bisa diterimanya.
Sebagian besar kaum Anabaptis adalah orang-orang yang cinta damai dan sebagian lagi malah seperti pertapa dan mereka sangat terkejut melihat ekses-ekses yang ditimbulkan oleh kaum Münster. Obbe Philips, seorang pendiri gerakan Anabaptis Belanda, sangat menentang kaum Münster dan mengucilkan mereka yang menerima ajaran-ajaran yang dianggap sesat. Peristiwa ini kemudian menjadi dasar dari praktik “penjauhan diri” yang dilakukan oleh kaum Anabaptis Belanda.
Khotbah-khotbah Simons semakin menunjukkan sifatnya yang bertentangan dengan Gereja Katolik, dan Simons sendiri merasa semakin sulit menjalani kehidupan yang berganda. Namun ia sadar bahwa bila ia meninggalkan Gereja Katolik, harga yang harus dibayarnya jauh lebih besar daripada apa yang dialami oleh para reformator lainnya. Ini disebabkan karena sejak abad ke-6, ketika Kaisar Yustinianus berkuasa, ada dua ajaran sesat yang diancam dengan hukuman mati, yakni baptisan ulang dan penyangkalan terhadap Tritunggal. Kebanyakan kaum Anabaptis pada zaman Menno Simons menolak istilah ini karena hal ini menunjukkan tindakan kriminal. Sejak abad ke-4, Gereja telah memutuskan bahwa baptisan ulang bagi mereka yang telah dibaptiskan oleh orang-orang sesat sekalipun ataupun uskup yang telah menyimpang dari Gereja, tidak diperbolehkan. Para reformator, Luther, Zwingli, maupun Calvin, telah berusaha mempertahankan ajaran mereka sedemikian rupa sehingga mereka tetap memiliki perlindungan sipil. Namun bila Simons menolak ajaran Katolik, khususnya menyangkut baptisan ulang, maka ia dapat dianggap sebagai kriminal baik oleh Gereja maupun oleh negara. Namun pada Januari 1536, Menno Simons akhirnya menolak Gereja Katolik Roma dan menjadi Anabaptis. Ia menawarkan bantuan kepada kaum Münster bukan karena ia setuju dengan kegiatan mereka, melainkan karena belas kasihannya. Karena itu, selama satu tahun Simons menyembunyikan diri dari pemerintah. Selama masa itu, Simons menggunakan waktunya untuk bermeditasi dan merenungkan keadaannya serta doktrin-doktrin yang kemudian menjadi dasar dari tindakannya.
Obbe Philips dan para pengikutnya beberapa meminta Simons untuk memimpin gerakan Anabaptis di Belanda. Pada tahun 1537 Simons diangkat menjadi uskup dan diakui sebagai pemimpin gerakan Anabaptis di Belanda. Simons percaya bahwa anugerah Allah menyertai dirinya, karena ia tidak mengalami hukuman-hukuman mengerikan seperti yang dialami oleh teman-temannya yang ditenggelamkan dan dibakar pada salib. Simons memimpin jemaatnya yang pertama di Groningen. Di sana ia menikah dan kemudian berkeliling dalam perjalanan misinya di negara-negara sekitar. Teologinya akhirnya menerima doktrin-doktrin ortodoks, tetapi ia menolak praktik-praktik yang tidak disebutkan di dalam Perjanjian Baru. Simons meninggal pada 31 Januari 1561.
Para pengikut Simons dikenal kemudian sebagai Menonit. Mereka percaya akan pengilhaman Kitab Suci, tetapi Perjanjian Baru telah menggantikan Perjanjian Lama karena kematian Kristus sebagai penebus dipahami telah menggenapi janji-janji Perjanjian Lama. Bagian Perjanjian Baru yang paling dinilai tinggi oleh orang-orang Menonit adalah Khotbah di Bukit. Ajaran ini membuat kaum Menonit menuntut kehidupan etis yang tinggi. Orang-orang Menonit menganggap Perjanjian Lama lebih rendah nilainya, karena berbagai ajarannya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Yesus, seperti perceraian, poligami, dan perang. Semua ini dianggap oleh orang Menonit sebagai “kekerasan hati” yang dialami oleh orang-orang seperti Daud. Sebagai penyataan Kerajaan Allah yang lebih sempurna, mereka percaya bahwa orang Kristen dituntut untuk menjalani kehidupan etis yang lebih tinggi karena mereka telah mendapatkan pencerahan yang lebih tinggi. Itu pula sebabnya orang Menonit menolak untuk menjadi tentara atau ikut berperang. Teologi mereka cenderung pasifis.
Tidak semua orang Anabaptis menjadi Menonit. Sebagian menerima tawaran perlindungan agama dari William Penn di Amerika Serikat, dan karena itu banyak dari mereka yang bermukim di Germantown, Philadelphia (1680). Ada banyak pula orang Menonit yang pindah ke Jerman ketika Tsarina Catherina II dari Rusia, yang berdarah Jerman, mengundang orang-orang Jerman untuk mengolah tanah di daerah sekitar St. Petersburg (1762 –1763). Sebagian varian dari ajaran Menonit dikembangkan oleh Jacob Ammann, seorang Swiss, yang pengikutnya menjadi orang-orang Amish di Amerika Serikat.
Sekelompok Menonit merumuskan “Tujuh Artikel Schleitheim” di Canton Schaffhausen, Swiss, pada 24 Februari 1527. Ketujuh artikel ini dapat dikatakan menyimpulkan seluruh ajaran Gereja Menonit:
Baptisan hanya dilayankan kepada mereka yang telah bertobat dan sungguh-sungguh percaya bahwa dosa mereka telah dihapuskan oleh Kristus, dan mereka yang berjalan di dalam kebangkitan Yesus Kristus, dikuburkan bersama-Nya di dalam kematian-Nya, sehingga mereka akan dibangkitkan bersama-Nya kelak. Karena itu, Gereja Menonit menolak baptisan anak.
Pengucilan diberlakukan bagi mereka yang telah dibaptiskan, tetapi kemudian jatuh ke dalam dosa dan telah diperingatkan sampai tiga kali.
Memecah roti adalah kesatuan oleh baptisan di dalam satu tubuh Kristus, yaitu Gereja Allah. Mereka yang ikut serta di dalam pekerjaan kuasa kegelapan tidak mempunyai tempat dalam pemecahan roti.
Orang Kristen terpanggil untuk memisahkan dirinya dari kuasa jahat, karena kita tidak mempunyai bagian dengan Babel dan Mesir. Oleh karena itu, orang Menonit harus menjauhkan diri dari semua karya dan kebaktian orang Katolik dan Protestan, bar-bar, urusan-urusan masyarakat dan sumpah yang diucapkan dalam ketidakyakinan, dan segala sesuatu yang dianggap mulia oleh dunia, tetapi jelas-jelas berlawanan dengan perintah Allah.
Pendeta haruslah memimpin jemaat sedemikian rupa sehingga orang tidak bisa menjelek-jelekkannya. Bila pendeta harus menerapkan disiplin, hal itu harus dilaksanakannya berdasarkan dua atau tiga orang saksi. Bila pendeta disingkirkan atau meninggal (karena mati syahid atau lainnya), maka orang lain harus langsung diangkat untuk menggantikannya agar umat gembalaan Allah tidak musnah.
Allah memerintahkan penggunaan pedang di luar kesempurnaan Kristus. Namun di dalam kesempurnaan Kristus pedang hanyalah digunakan untuk peringatan untuk mengucilkan mereka yang tidak berdosa, tanpa mematikan. Oleh karena itu, orang Kristen tidak boleh menggunakan pedang. Itu berarti pula orang Kristen tidak boleh menjadi tentara. "Orang dunia bersenjatakan besi dan baja, tetapi orang Kristen dipersenjatai oleh senjata Allah, dengan kebenaran, kehidupan yang benar, perdamaian, iman, keselamatan, dan Firman Allah. Singkatnya, sebagaimana pikiran Allah terhadap kita, demikian pula pikiran anggota-anggota tubuh Kristus berjalan melalui Dia di dalam segala sesuatu, agar tidak terjadi perpecahan di dalam Tubuh-Nya (Gereja) yang dapat menyebabkan kehancuran. Karena setiap kerajaan yang berperang melawan dirinya sendiri akan hancur."
Orang Kristen tidak boleh mengucapkan sumpah, karena kata-katanya harus tegas, ya atau tidak.
Di Argentina, Gereja mennonite membentuk koloni tersendiri. Mereka memisahkan diri dari komunitas masyarakat umum. Ada yang anti teknologi (Radio, TV, Telepon, Internet, HP).
https://www.youtube.com/watch?v=G9U_3yUq4Xc
Komunitas Mennonite: Dunia tersembunyi di Argentina | DW Dokumenter
@christofergeraldinetanjaya2040
4 years ago